Kajian teori
ERIK ERICSON
TEORI
PERKEMBANGAN ERIK ERIKSON
Erikson dalam membentuk teorinya
secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini
mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya
sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat
dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan
tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini
terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap
antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting
dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep
struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis
pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi
antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan
sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila
istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini
berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan
dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan
genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga
dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan
sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap
tahapnya.
Pusat
dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai
perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan
secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam
setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic
Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan
persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip
epigenetic. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian
kata yaitu :
1.
Pada
dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian
dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu
dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling
mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
2.
Masyarakat,
pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap
individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha
menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam
tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun
1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara
terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan
istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap
tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi
yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic
yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin
mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan
waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu
terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa,
secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap
itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap
psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen
kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus
dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian
yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar
personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap
yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap
tahap.
Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami
kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis psikososial
yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah dilukiskan
dalam bentuk sebuah gambar (Figure 3-1). Di mana gambar tersebut memaparkan
tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh
setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang
bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang
bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode
untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif
berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi
dalam kesehatan manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat
dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih
menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut
dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang
dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial
Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar
teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori
perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara mengenai
aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu diketahui
pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud dan teori
Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa. Meminjam kata-kata Erikson
melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis
rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap
bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian
bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh karena itu,
melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa
dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan
malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak
berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif
dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu
berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang
terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak
menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung
dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam
tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan
maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson
memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan
di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua
polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh
setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
Developmental
Stage
|
Basic
Components
|
Infancy (0-1 thn)
Early childhood (1-3 thn)
Preschool age (4-5 thn)
School age (6-11 thn)
Adolescence (12-10 thn)
Young adulthood ( 21-40 thn)
Adulthood (41-65 thn)
Senescence (+65 thn)
|
Trust vs Mistrust
Autonomy vs Shame, Doubt
Initiative vs Guilt
Industry vs Inferiority
Identity vs Identity Confusion
Intimacy vs Isolation
Generativity vs Stagnation
Ego Integrity vs Despair
|
1.
Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs
Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada
umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah
menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk
hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik
apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan
tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang
kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki
peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian
anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan
dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan
mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai
suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya
dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang
bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman,
dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi
belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya
kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga
mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap
lingkungannya.Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan
kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada
hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi
memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa
tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.Hal ini jangan
dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada
kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan
menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini
dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan
pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat
padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang
seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi.
Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah
merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan
berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini
ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi. Pada dasarnya
setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga
rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan.
Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada
akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu
perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak
percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang
pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.Adanya perbandingan yang tepat
atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada
tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan
berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat
kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi
mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia
senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu
(ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di
mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat
(numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan
mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat
bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang
menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan,
penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam
hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan
merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang
lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan
dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat
diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau
sebaliknya anak akan memuja orang
lain.
2.
Otonomi vs Perasaan Malu dan
Ragu-ragu
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular
stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia
18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini
adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan
ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya
terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu
kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap
salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu.
Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan
anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang
menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya,
anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan.
Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya,
sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap
pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu
tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol
diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat
anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk
menyentuh benda-benda lain.Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat
menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang
gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah
karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak
sendirian. Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan
keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain,
keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali
menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni
“tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya,
karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga
diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi
atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan
berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness
(terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki
perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada
sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat
inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu
bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus
dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka
tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu
dan ragu-ragu.Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa
malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat
keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan
atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa
“kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan
kewajiban”.Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan
adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat
mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang
benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat
bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka
anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat
dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa
tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol mengarah
pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.
3.
Inisiatif vs Kesalahan
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor
(genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada
suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan
tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya
gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain
merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan
dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki
tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu
yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh
anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya.
Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital
ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak
kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka
seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan
diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.Ketidakpedulian (ruthlessness)
merupakan hasil dari maladaptif
yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan
namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai
mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai
sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan
jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan
disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada
pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa
bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition).
Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk
mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan
merasa terhindar dari suatu kesalahan.Kecenderungan atau krisis antara keduanya
dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan
(purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa
dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu
interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri
untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam
pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak
berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk
menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk
bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan
kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
4. Kerajinan
vs Inferioritas
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia
sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan
dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan
menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area
sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah,
sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong,
guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain
sebagainya. Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana
yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring
bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk
dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan
bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain.
Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda
kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu,
peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang
menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang
dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih
banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya
tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.Kecenderungan
maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu
besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit.
Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin
malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh
Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari
pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama,
maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti
tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang
ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam
diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun
berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala
sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak
tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya
dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak
mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang
sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka
anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang
berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi
terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
5. Identitas
vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai
pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian
identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang
harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang
mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai
tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui
siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.
Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga,
sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas
terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya
dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan
peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat
dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan
dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan
bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu
terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego
merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis.
Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada
dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh
karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap
sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik,
disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya
ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan
identity confusion atau kekacauan identitas.Akan tetapi di sisi lain jika
kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas,
maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang
bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan
sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap
bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika
kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson
menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat
ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya
mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari
kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima
dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya. Kesetiaan akan diperoleh
sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara
identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang
mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan
standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan,
kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam tahap
adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
6. Keintiman
vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap
individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang
berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai
kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri.
Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang
biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai
kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam
kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin
dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang
berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin
relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat,
tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara
dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu
kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta,
persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam
sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi
harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta.
Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala
bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta
yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun
juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
7. Generativitas
vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan
ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila
pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai,
demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat
mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu
(generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah
perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi
yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan
orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu
pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi
ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.Maladaptif yang kuat akan
menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk
mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana
seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat
dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat
sambutan yang baik.Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya
keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif
yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi
generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang
terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia
dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa
merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami
serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa,
sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung
dengan baik dan menyenangkan.
8. Integritas
vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia
senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas.
Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup
berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja
ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan.
Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian
orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya,
karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau
tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang
berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki
arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima
akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika
didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap
datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih
kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang
biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi
kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan
lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut
dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumpah serapah
dan menyesali kehidupan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar